Kapan Musim Hujan Berganti?
Tidak semua yang tak bisa kita hadapi membuat kita makin kuat, bukan?
Aku merasakan musim hujan kali ini lama sekali. Seperti sebuah keniscayaan yang tidak kunjung pergi. Diam-diam kurindui debu-debu jalan yang terpapar panas matahari; seringkali membuat gaduh. Desak-desak orang di komuter yang bermandi peluh. Atau sekedar sensasi nikmat saat air es menyapu tenggorokan, siang hari di jam satu.
Sesuai hasrat manusia yang mudah jemu, aku sudah bosan dengan suara hujan yang terasa lebih keras dari dalam kamar kos. Aku mulai menyimpan benci ketika beberapa rencana gagal karena hujan angin yang datang tanpa permisi.
Aku mulai benar-benar membencinya ketika hujan mengaburkan akal, dan membuat beberapa kenangan menjadi mengkristal. Aku tidak suka mengenang-ngenang. Pengecut memang, tapi sungguh lebih mudah kabur dari bayang-bayang cerita lalu daripada terus melemah saat menghadapinya.
Tidak semua yang tak bisa kita hadapi membuat kita makin kuat, bukan?
Sebuah parameter yang membuat aku merasa musim hujan kali ini lama sekali adalah betapa derasnya arus hilir-mudik karakter-karakter dalam cerita hidupku. Beberapa kali aku menutup pintu, tapi tak kuasa untuk membukanya lagi. Lalu akhirnya, kubiarkan saja tetap begitu.
Lalu, kupelajari hidup. Pada usia dua satu. Berkali-kali aku menerabas hujan, kuyup, dan sedikit demam esok hari. Hanya untuk mengulanginya lagi.
Sebab, di atas itu semua, terguyur hujan membuatku merasa lebih dekat dengan semesta. Kulambatkan langkah dan aku makin tersadar, selama ini aku menjadi bagiannya. Dan karena itulah, aku akan baik-baik saja.
Photo by Sinitta Leunen: https://www.pexels.com/photo/through-window-of-car-on-mirror-5902149/