“Jika ada pedih yang panjang mengikat tubuhmu. Percayalah dunia tak selamanya harus begitu.” — Lomba Sihir
Musim hujan selalu menghadirkan memori-memori acak secara tiba-tiba. Mungkin karena sepi dan birunya memaksaku mencari jejak-jejak hangat, yang sayangnya, belum terlalu bisa kutemukan dalam diri sendiri.
Memori-memori acak yang terlampau tua biasanya berkelindan dengan imajinasi lain yang datang dari berbagai campuran visi. Mungkin saja harapan kosong yang tidak pernah sampai. Tapi, di situlah letak magisnya.
Favoritku adalah apapun yang membawaku kembali pada ruangan penuh sekat, dengan ruang TV di bagian belakang. Disekat dengan rak buku yang sebagian diisi boneka. Tidak lama fase hidup dalam latar itu terjadi, sama seperti fase-fase hidup dalam kategori ‘bahagia’ lainnya.
Meski, setelah mendewasa, aku berhenti melabeli setiap fase secara hitam putih. Akhirnya, semua sama saja dengan berbagai spektrum warnanya.
Ada dua kura-kura kecil yang terperangkap dalam kandang dengan tutup oren. Sepertinya namanya Pipo dan Popi, kunamai sesuai iklan kartun upcoming dalam saluran TV kabel yang Ibu tidak suka. Bertahun setelahnya baru kutahu kenapa.
Aku belajar sepeda di ruang tamu, sampai kemudian aku keranjingan menyapu. Ayah menggoyang pohon kelengkeng sampai semua daunnya rontok sesuai permintaan. Aku diam-diam belajar memanjat pohon itu saat rumah kosong.
Sampai sekarang belum kutemui penjual cetakan pastel seperti yang kubuat di dapur bersama Ayah, tapi pastel masih menjadi favoritku hingga sekarang. Oh, baru saat aku menulis kalimat ini aku menyadari alasanku suka jajanan satu itu.
Oh, beginilah cara jejak-jejak cinta orang tuaku bekerja. Di luar titik-titik salah yang masih membuatku menangis sesak sepanjang jalan pulang, ada memori-memori minor yang tetap tinggal dan menguatkan.
Seperti sekitar hampir dua dekade setelahnya, tahun ini. Dalam ruangan putih-putih, ibu-ibu bijak itu berkonklusi, “Cah ayu, kamu ini pintar. Pintar sekali,”
Mata sepuhnya menatapku dengan binar dan aku jadi salah tingkah. Tendensi untuk meluruskan semua pujian. Dok, saya tidak lagi bisa merasa, ini benar-benar tidak ada artinya.
Kertas dan obat dalam laci, tak tersentuh lagi. Di rumah masa kecil itu semua akan tertawa saja, “Memang begitulah (dia).” Si empat yang kembali ke kelas lagi setelah membasahi bajunya, si sembilan yang giat les matematika, si garda depan yang berlari kencang. Obat-obatnya disembunyikan dalam tumpukan baju. Tak ada artinya.
Mungkin, ada artinya. Sebuah malam, kami bertiga berkendara hanya untuk melihat spanduk yang di pasang di tengah ‘kota’ kecil. Memori terakhir perayaan bersama, ada namaku di sana, Ayah Ibu di akhir usia kepala dua, kami bertiga.
Jika memang bukan untukku, pastilah untuk mereka. Untuk sulur-sulur misterius yang saling terkoneksi. Yang sudah kurelakan untuk tak akan kutemukan jawabnya sampai mati.
Jika memang bukan untukku di kehidupan yang ini, mungkin, di kehidupan yang tidak fana. Dimana aku masih dengan gaun biru bunga waru, berpikir aku cukup ringan untuk ada dalam gendongan Ayah. Tak akan kumendebat lukisan sumur dan taksi yang kusobek karena iri.
Begitu kuulang-ulang, hingga aku sadar, mungkin, sebagian besar luka baiknya dibiarkan menganga. Mungkin bukan lagi porsi manusia. Tahun ini aku mengibarkan bendera berhenti melawan. Tarian ekspektasi yang menyandungku berkali-kali. Orang yang salah lagi, mimpi-mimpi buruk lagi.
Siklus hidup yang mengitari, gadismu yang barangkali tak memiliki jejak seperti saat kau lihat terakhir kali. Di ruang gelap ini, kusandar harap memutus rantai sampai di sini. Yah, Bu, izinkan aku menerka ulang jalanku menemukan lapang, ya.