Sebenar-benarnya Kisah Cinta
Kehidupan ini sepenuhnya adalah kisah cinta. Dari dan menuju Allah.
Sambil menunggu pagi aku kembali mendengar siniar. Kali ini, seorang perempuan dengan wajah teduh menarik perhatianku. Aku sangat menyukai cara beliau bertutur kata — raut wajahnya setenang nada bicaranya, semua kata-katanya tertata, hanya yang baik dan hanya yang memancarkan manfaat.
“Ya Allah, apakah tidak rindu waktu bersamaku? Bantulah aku untuk bangkit kembali”, kata beliau, menceritakan momen turunnya kekuatan mencintanya.
Kalimat tersebut mengingatkanku kepada sebuah kutipan yang tak sengaja kubaca bertahun lalu. Bahwa sejatinya, kehidupan ini seluruhnya adalah kisah cinta dengan Tuhan. Waktu itu, zaman-zaman novel teenlit menjadi santapan sehari-hari, kutipan tersebut terasa dekat, meski belum benar-benar aku mengerti.
Sekarang aku mengerti.
Sebenar-benarnya kisah cinta adalah yang kita miliki dengan yang menciptakan bumi dan seisinya, yang mengatur segala sistem dari atom hingga organisme raksasa — namun tidak pernah, sekali-kali, meninggalkan kita luput dari penjagaannya. Dan bagaimana Ia menciptakan seluruh manusia dalam start yang sama, sama-sama memiliki fitrah untuk menemukan bentuk-bentuk cintaNya di bumi.
Ini seperti anti-tesis dari banyaknya pikiran buruk ala remaja awal 20 tahunan yang kerap hinggap dan mengganggu. Tentang mengapa hidup terkadang sulit? Mengapa selalu ada tembok yang menghalangi untuk merasa bahagia?
Namun, bagaimana jika sebenarnya hidup ini dirancang bukan untuk mencari bahagia, namun untuk semata-mata saling berbalas-balasan cinta dengan-Nya?
Sebab, menurut perkataan perempuan luar biasa yang kulihat dalam siniar barusan, kebahagian merupakan hal yang hanya Dia yang bisa memberikan. Mau kita mencari dengan cara apapun, mencapai prestasi setinggi apapun, terkadang ia tetap tak bisa ditemukan.
Bagaimana jika sebenarnya aku sendiri yang selama ini mempersulit diri? Ketika cara menemukan-Nya sudah ada di hadapan mata, aku justru memilih jalan memutar, mencari penawar kekosongan-kekosongan di tempat yang salah. Ketika cinta-Nya sudah ada di hadapan, aku justru bersikeras mencari sendiri kebahagiaan.
Kupikir Dia berakhir membenciku dan segala kebodohan yang mengacau di dalam otakku.
Tapi, bukankah segala kenyamanan hidup ini juga bisa jadi caranya memeliharaku, meski saat tersesat? Bukankah saat ini, aku terdiam dalam berbagai pikiran yang menenangkan ini, juga seolah Ia sedang berkata ‘aku selalu mencintaimu’?
Sepertinya itulah mengapa ada sebuah kalimat dzikir yang kurang lebih berbunyi ‘aku sudah zalim pada diri sendiri’, karena ternyata, segala pengingkaran terhadap-Nya sama sekali tidak membuatNya kekurangan. Tapi, dampaknya besar terhadap kita. Karena semakin mengingkari, semakin kita tersiksa dan merusak diri. Bukankah itu berarti segala yang Ia minta memang untuk memelihara kita di dunia?
“Ketika kita sudah merasakan cinta Allah yang begitu besar, tidakkah kita ingin membalasnya juga?”